Categories: Uncategorized

Kapan Tren Global Meresap ke Meja Makan Rumah Tetangga

Ada momen lucu ketika saya menyadari bahwa resep yang dibawa tetangga untuk arisan ternyata bukan hanya sekadar “kreasi kreatif” lokal — itu adalah versi ayam goreng yang viral dari luar negeri lengkap dengan saus kacang ala jalanan Bangkok. Saya tertawa, setengah kagum, setengah tidak percaya: kapan sih tren global itu bisa sampai ke piringan nasi di rumah kita? Yah, begitulah, dunia memang kecil, dan meja makan tetangga kadang jadi halte terakhir tren yang bermula ribuan kilometer dari sini.

Jalan tren: dari timeline ke dapur

Sekarang bayangkan ini: seseorang melihat video pendek 30 detik di pagi hari. Malamnya dia belanja bahan, dan keesokan harinya bahan itu ada di rumah — bukan hanya di Instagram, tapi di meja makan. Proses ini terasa instan. Media sosial tidak hanya mempercepat pengetahuan, tapi menurunkan hambatan praktik. Tutorial gampang, review singkat, dan challenge yang lucu membuat orang mau coba. Saya pribadi pernah ikut resep “pasta feta bakar” hanya karena sahabat saya mengirim foto ke grup keluarga. Hasilnya? Ludes dalam 10 menit. Itu bukti tren global bisa masuk tanpa penghalang.

Kenapa tetangga kita cepat ikut-ikutan?

Alasannya banyak. Pertama, rasa penasaran manusia sulit dimatikan. Kedua, barang-barang dari luar lebih mudah diakses — supermarket besar sudah menaruh bahan impor di rak, atau pedagang pasar modern tiba-tiba menjual quinoa. Ketiga, gengsi halus: kalau tetangga sebelah membahas “kombucha buatan sendiri” di warung kopi, kita mau enggak mau ingin juga ikut tahu. Saya pernah merasa sedikit malu karena belum pernah makan kimchi buatan rumah saat semua orang di RT membahas fermentasi makanan. Akhirnya ikut kelas online, dan sekarang saya juga punya stoples kimchi yang (kalau jujur) lebih asam dibanding yang dijual di kota.

Tren dan identitas kuliner: kompromi atau kolonisasi?

Ada sisi yang lebih serius: ketika tren global masuk, apakah kita mengadopsinya utuh atau memodifikasi sesuai selera lokal? Di satu sisi, menyukai makanan dari luar adalah bentuk apresiasi budaya. Di sisi lain, ada risiko “kuliner homogen” di mana semua orang memasak versi Instagramable yang sama, membuat variasi lokal pudar. Saya suka melihat solusi kreatif tetangga saya yang menambahkan bumbu tradisional ke hidangan asing — seperti rendang bumbu ke pasta Asia — dan itu terasa seperti perayaan, bukan penjiplakan. Jadi menurut saya, kompromi kreatif itulah yang terbaik: menerima inspirasi, tapi tetap memodifikasi agar punya rasa rumah sendiri.

Bagaimana tren bertahan (atau tidak) di meja makan sehari-hari

Bukan semua tren bertahan lama. Banyak yang datang seperti badai dan pergi secepat itu. Faktor keberlanjutan tren biasanya sederhana: bahan mudah didapat, proses cocok untuk rutinitas, dan kayaknya ada koneksi emosional. Misalnya, susu nabati sempat menjadi hype, dan banyak orang mencoba sekali lalu kembali ke susu sapi — kecuali mereka alergi atau memang menyukai rasanya. Akan tetapi, beberapa tren yang menyentuh nostalgia atau kebutuhan praktis cenderung bertahan. Contoh: memasak lebih banyak makanan sederhana di rumah yang dulu sempat naik karena pandemi — itu masih ada di banyak rumah tetangga, karena murah dan nyaman.

Saya perhatikan juga tren yang menempel lama seringkali melibatkan cerita. Entah itu cerita tentang kesehatan, keberlanjutan, atau sekadar cerita lucu di balik resep. Ketika tetangga saya mulai membawa salad berwarna-warni ke acara RT, bukan semata-mata karena mereka terpengaruh influencer, melainkan karena mereka ingin menunjukkan bahwa mereka peduli pada kesehatan keluarga. Cerita itulah yang membuat sesuatu tetap relevan.

Oh ya, kalau kamu suka membaca opini-akurat tentang bagaimana tren ini bergerak, ada beberapa kolom yang menarik, misalnya theorangebulletin, yang sering mengaitkan budaya pop global dengan gaya hidup sehari-hari. Sering kali saya membaca dan merasa: “Iya, itu juga yang saya lihat di sekitar.”

Intinya, tren global meresap ke meja makan tetangga karena kita hidup dalam jaringan yang saling terhubung — secara digital, ekonomi, dan sosial. Menerima tren itu bukan dosa; yang penting adalah bagaimana kita menyikapi: apakah kita hanya ikut-ikutan demi pamer, ataukah kita adaptasi dengan rasa, cerita, dan kebijaksanaan lokal.

Jadi berikut kesimpulan saya yang sederhana: biarkan tren datang, cicipi, ubah sedikit agar cocok, dan jika cocok, biarkan hal itu tetap di menu. Kalau tidak, yah, begitulah — ia akan pergi dan digantikan tren lain. Dan jika suatu hari tetanggamu datang membawa sesuatu yang aneh dan enak, coba tanya resepnya. Mungkin kamu akan menemukan kisah kecil tentang dunia yang lebih dekat dari yang kita kira.

engbengtian@gmail.com

Share
Published by
engbengtian@gmail.com

Recent Posts

Tren Global yang Bikin Gaya Hidup Kita Berubah Tanpa Disadari

Judulnya memang terasa dramatis: "Tren Global yang Bikin Gaya Hidup Kita Berubah Tanpa Disadari". Tapi…

13 hours ago

Mengintip Tren Global: Gaya Hidup yang Membentuk Suara Publik

Ada kalanya saya merasa dunia ini seperti panggung kecil yang diputar ulang setiap hari: tren…

1 day ago

Mengikuti Tren Global Tanpa Kehilangan Identitas Gaya Hidup dan Suara Kita

Mengikuti Tren Global Tanpa Kehilangan Identitas Gaya Hidup dan Suara Kita Kenapa tren global terasa…

3 days ago

Tren Global, Gaya Hidup Baru dan Suara Publik yang Bikin Penasaran

Aku sering kepikiran, kenapa berita tentang tren global terasa dekat banget sama kehidupan sehari-hari? Dulu,…

3 days ago

Dari TikTok ke Jalanan: Tren Global yang Bikin Gaya Hidup Kita Berubah

Dari TikTok ke Jalanan: Tren Global yang Bikin Gaya Hidup Kita Berubah Kadang aku heran,…

5 days ago

Saat Dunia Berubah: Tren Global, Gaya Hidup, dan Suara Jalanan

Kadang aku berpikir dunia ini seperti warung kopi yang selalu ganti menu. Seminggu lalu ada…

6 days ago