Categories: Uncategorized

Ketika Tren Global Menyelinap ke Meja Makan Kita

Dari Mana Semua Ini Berasal?

Aku sering terpana ketika berdiri di dapur, mendengar suara wajan yang mendesis dan melihat timeline Instagram penuh gambar mangkok ramen dengan telor setengah matang. Rasanya tren makanan zaman sekarang seperti tamu tak diundang yang tiba-tiba nyaman duduk di meja makan keluarga kita. Ada yang datang karena selebgram, ada yang datang lewat acara masak internasional, ada pula yang menyusup lewat label ‘ramah lingkungan’.

Tren global tidak datang sendirian; mereka membawa jargon-jargon baru: fermentasi, farm-to-table, plant-based, sampai ritual fika yang seolah-olah kopi Scandinavian bisa menyelesaikan segala masalah. Aku ingat pertama kali dengar tentang kimchi, bukan dari ibu atau tetangga, tapi dari podcast foodie. Akhirnya aku coba buat sendiri — dapur berbau asam bawang putih selama seminggu, tapi kepuasan saat membuka stoples itu? Tak tergantikan.

Di Meja Makan Rumahku

Di rumah, reaksi anggota keluarga beragam. Ayah, yang masih setia pada sambal terasi dan pepes ikan, menatap tofu gorengku seperti itu adalah makhluk asing. Ibu, awalnya skeptis, sekarang suka menyelipkan quinoa ke nasi liwet karena katanya “lebih sehat”. Anak kecil berlari-lari minta “boba” yang dia lihat di TikTok; saat aku bilang itu minuman, dia hanya merengek minta straw warna-warni.

Saat membuat makanan ala New Nordic untuk dinner minggu lalu aku sengaja putar lagu-lagu lembut, lampu remang-remang, dan menaburkan herba yang aku beli dari pasar petani lokal. Ada ritual kecil yang berubah: kami makan pelan, ngobrol lebih lama, dan menilai tekstur roti sourdough seperti juri lomba. Terkadang aku merasa lucu melihat semua ini — aku yang dulu kebangetan praktis, sekarang berjam-jam membuat starter sourdough sambil ngecek waktu fermentasi seperti ilmuwan amatir.

Apakah Semua Harus ‘Instagramable’?

Satu hal yang jelas: estetika memegang peranan besar. Masakan bukan hanya soal rasa, tapi juga warna, piring, dan pencahayaan. Ada tekanan halus bahwa makanan harus ‘Instagrammable’ — setidaknya sampai orang melihat langsung dan bertanya “Ini enak gak sih?” Aku pernah masak salad super fotogenik; fotonya dapat ratusan likes, tapi suamiku yang lapar tengah malam bilang, “Bisa makan gak ini?” dan langsung menambal dengan nasi goreng ala bapak-bapak. Tawa kecil kami mengingatkan bahwa di balik tren, rasa kenyang dan kenangan tetap nomor satu.

Tapi jangan salah: tren juga membawa hal baik. Perhatian pada keberlanjutan membuat kami memilih kemasan yang bisa didaur ulang, menanam herba di pot, atau mengurangi konsumsi daging. Aku bahkan pernah memesan bahan dari layanan meal kit yang mengirim bahan lengkap dan resep — rasanya seperti dapur kantoran yang dirangkum jadi paket romantis. Ada juga suara sumbang yang menentang tren hanya karena takut berubah, atau merasa terintimidasi oleh jargon sehat yang seolah eksklusif. Di sini perdebatan mengenai aksesibilitas muncul; tren sehat seringkali berbiaya lebih mahal, jadi siapa yang benar-benar bisa mengikutinya?

Jaga-jaga atau Ikut Arus?

Aku cenderung memilih jalan tengah: mengambil yang baik, menolak yang memaksa. Kaffeemaker dirumah sudah berganti ke grinder manual karena aku suka momen menyeduh kopi yang menenangkan — bukan demi foto. Terkadang aku mencoba resep internasional yang kemudian kugabungkan dengan bumbu rumah: pasta dengan saus rendang, misalnya, yang membuat teman makan malam terkejut tapi kemudian minta tambah. Ada perasaan hangat melihat bagaimana budaya ‘global’ bisa berbaur dengan tradisi lokal sampai tercipta sesuatu yang baru, dan lucu juga ketika resep baru itu akhirnya menjadi ‘resep keluarga’ padahal asalnya dari akun chef asing yang lihat sekali.

Di tengah semua ini, aku juga sering membaca opini di theorangebulletin tentang dampak tren terhadap komunitas lokal, dan merasa penting untuk bertanya: apakah kita mengadopsi karena benar-benar ingin, atau karena takut ketinggalan? Kalau ingin ikut, lakukan dengan sadar. Jika mau menolak, lakukan dengan santai, bukan defensif.

Akhirnya aku percaya meja makan harus jadi ruang kebebasan: tempat merayakan rasa, bukan hanya tren. Biarkan ada roti sourdough, namun juga gak apa-apa kalau ada sepiring nasi uduk hangat yang menenangkan hati. Tren akan terus datang dan pergi, tapi yang penting adalah bagaimana kita menjaga ritual makan itu tetap bermakna — ada tawa, ada cerita, dan pastinya ada sambal di sisi piring.

engbengtian@gmail.com

Share
Published by
engbengtian@gmail.com

Recent Posts

Mengikuti Gelombang Tren Global: Gaya Hidup, Berita, dan Suara Publik

Ada sesuatu yang menarik ketika berita, gaya hidup, dan opini publik bergerak dalam satu arah.…

1 day ago

Curhat Tren Global: Gaya Hidup Baru, Berita Ringan dan Suara Publik

Kenapa semua terasa serba cepat? Beberapa pagi terakhir aku duduk di teras sambil menunggu kopi…

2 days ago

Mengikuti Tren Global: Kenapa Gaya Hidup Mempengaruhi Opini Publik

Aku sering merasa dunia sekarang bergerak kayak treadmill yang kecepatannya diatur sama orang lain. Kamu…

4 days ago

Ngomongin Tren Global: Gaya Hidup Baru, Berita Ringan, Suara Warga

Apa yang terjadi ketika dunia terasa lebih kecil karena internet, tapi sekaligus lebih besar karena…

4 days ago

Fila88: Sensasi Slot Online dengan Jackpot Menggiurkan

Fila88 menjadi salah satu pilihan favorit bagi pecinta slot online di Indonesia. Banyak pemain yang…

7 days ago

Ijobet Spaceman Slot: Sensasi Cashout Cepat Multiplier Besar Maxwin Gacor

Kenalan dengan Spaceman Slot Pragmatic Bagi penggemar game seru dari Pragmatic Play, ijobet spaceman slot…

4 weeks ago